Perbedaan rakaat dlm sholat tarawih
Bulan Ramadhan adalah bulan termulia;
bulan turunnya Al-Qur’an untuk pertama kali, bulan penuh ampunan, rahmah
serta ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala, bulan yang penuh dengan
momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat lailatul qadar, yakni
suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk memperbanyak pahala dengan melakukan berbagai macam amal ibadah.
Diantara
ibadah yang mendapat penekanan khusus pada bulan Ramadhan adalah qiyam
Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
melaksanakan qiyam pada (malam) bulan Ramadhan karena meyakini
keutamaannya dan karena mencari pahala (bukan karena tujuan pamer atau
sesamanya), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (Muttafaq
‘alaih).
Qiyam Ramadhan yang dimaksud pada hadis di atas bisa dilaksanakan dengan shalat Tarawih atau ibadah lainnya.
Kontroversi Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Perdebatan
seputar jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal baru dalam kajian
hukum Islam. Perdebatan itu adalah perdebatan klasik dan telah ada sejak
masa para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat shalat qiyam Ramadhan yang
beliau kerjakan. Beliau menjawab: “Ada sekitar empat puluh pendapat
mengenai masalah ini.” Imam al-’Aini menyebutkan sebelas pendapat ulama
seputar jumlah raka’at shalat Tarawih.
Walaupun
terjadi perbedaan semacam itu, perlu diketahui, shalat Tarawih boleh
untuk dilakukan hanya dua rakaat saja atau berpuluh-puluh rakaat.
Syekh Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa yang menduga bahwa
sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang ditentukan
oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah atau
dikurangi, maka sungguh dia telah salah.” Para ulama hanya berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama. Kebanyakan
ulama memilih dua puluh rakaat. Namun ada juga beberapa pendapat
yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih
dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain.(7) Ibnu Taimiyah menganggap
semuanya baik dan boleh dikerjakan.
Perbedaan
ini muncul karena di dalam hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan
berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam
Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam
Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat Tarawih itu selama dua atau
tiga malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat,
beliau ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu,
sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu, tidak ada yang melakukan shalat Tarawih
secara berjamaah dengan satu imam di masjid.
Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن
ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ :
خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى
الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ
الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu
Syihab, dari ‘Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia
berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid
bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi
beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat
sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa
orang saja.
Kemudian Umar berkata:
“Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.”
Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Pada
kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi
bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara
berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik
bid’ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam
hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang
dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا
يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan
dari al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata : “Mereka (para
shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab
sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis
kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro,
I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam
al-’Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam
al-Subki, Imam al-Zaila’i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam
dan lain-lain.
Menurut
disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata
rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu’).
Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah
masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah
yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal
al-ra’yi).
2. Ijma’ para shahabat Nabi.
Ketika
Sayyidina Ubay bin Ka’ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh
rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap
bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila
yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa
mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka’ab.
Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab
adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal
pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa
yakhofuna fi Allah laumata laa’im. Bagaimana mungkin para shahabat
sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan,
Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A’isyah dan seabrek shahabat senior
lainnya (radhiyallahu ‘anhum ajma’in) kalah berani dengan seorang wanita
yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab
yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an ketika beliau hendak
membatasi besarnya mahar?
Konsensus
(ijma’) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi’in dan
generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah
Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu hingga saat ini, shalat Tarawih
selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri
Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah
Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada
yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan
melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya
telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat pada
bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama
berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka’ab
melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada
satupun di antara mereka yang mengingkari…”
Di
samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain
yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat.
Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil
tersebut. Karena di samping dha’if, kedua dalil di atas sudah lebih
dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian
ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal.
Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan
shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad
Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari
sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka’ab :
أخبرنا
أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا
يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال :
جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه
كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة
في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني
ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari
Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam
ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi
shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai
Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan,
mereka tidak dapat membaca Al-Qur’an. Mereka minta saya untuk mengimami
shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian
saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya
diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata
apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis
ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi
yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma’in dan Imam Nasa’i,
Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa’i pernah
mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu
karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama
Ya’qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya’qub al-Qummi adalah
lemah (laisa bi al-qawi).
2. Hadis Jabir :
حدثنا
عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن
عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر
رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari
Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.”
(HR. Thabarani).
Hadis ini
kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka’ab di atas, yaitu lemah bahkan
matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama,
yaitu Isa bin Jariyah dan Ya’qub al-Qummi.
3. Hadis Sayyidah A’isyah tentang shalat Witir :
مَا
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي
رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan
Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq
‘alaih).
Menurut kelompok pendukung
Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini
adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari
segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di
riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq
‘alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih
perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :
a. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan
yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya
tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja
sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah
sebagai berikut :
عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ
–رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي
غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا
تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا
تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ،
قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ
أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ
وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
dari Abi
Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A’isyah
radhiyallahu ‘anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A’isyah menjawab :
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik
pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.
Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu
tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.
A’isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda
tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A’isyah,
sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan
hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong
adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan
dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak
boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda. Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan
berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas
berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir
hadis ini, A’isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam.
b. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.
Dalam
hadis di atas, Sayyidah A’isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi
sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang
lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan
maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat
Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama
berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi
dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A’isyah radhiyallahu ‘anha.
عن
عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم-
يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari
A’isyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa
sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua
rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).
c. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat
mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas
adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak
tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu
paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga
rakaat Witir.
Di sisi lain,
jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa
selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan
shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang
merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi
mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat
Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”Apabila di selain bulan
Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat,
pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja
pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
d. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam
hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada
bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten,
kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas
maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir,
seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun,
dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada
bulan Ramadhan saja.
e. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.
Pemenggalan
hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma’) para
shahabat radhiyallahu ‘anhum termasuk diantaranya Khulafa’ al-Rasyidin
yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga
bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk
mengikuti jejak para Khulafa’ al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan
:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah
sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya
Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).
f. Kerancuan linguistik.
Kata
tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang
secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika
di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga
kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam
Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang
melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat. Maka Dari
sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya,
minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat
shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika
seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya
sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat
lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma’ shahabat di
dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam
al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih
yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat
Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha’if, bahkan
matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun
perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini
hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya
kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh
rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya
delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling
mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung,
bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, justru dikotori dengan saling hina,
saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat
yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan
kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya
yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai?
Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim
dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian
terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama
yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara
seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi
dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya
kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus
mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang
lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam
melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat
Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya
shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban
tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku’, i’tidal dan sujud tanpa
thuma’ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga
menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi
satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah,
sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek
(tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan
membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui
kesalahannya.
Dari itu,
waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu
dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa
al-mau’idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan
shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat
dengan khusyu’, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh
adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan
tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada
Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan
orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.
WA ALLAH A’LAM BI AL-SHAWAB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar