Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. 
Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan 
Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami 
mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang 
terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang 
lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan 
mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka 
pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin 
Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat
 melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini
 adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ 
قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى
 الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي 
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ 
الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى 
قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى 
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ 
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ 
هَذِهِ…
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih 
yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua 
puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا 
يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ 
فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata
 : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin 
al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan 
al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh 
Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam 
al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam
 dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang
 mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada 
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini 
dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu 
al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya 
bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula
 masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal 
al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua 
puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau 
menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
 Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu
 alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan 
bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin 
Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin 
al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. 
Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang 
terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang 
yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para 
shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin 
Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat 
senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang
 wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin 
al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau 
hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in 
dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa 
Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat
 Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, 
pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak
 dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota 
Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor
 Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada 
yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan
 melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami 
shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka 
banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin 
Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan 
tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain
 yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. 
Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil
 tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih 
dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih 
afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang 
berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh 
Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih 
dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap 
Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi 
malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” 
Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai 
Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, 
mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami 
shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian 
saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya 
diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata 
apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat 
rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam 
Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i
 pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi 
palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama
 Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah 
lemah (laisa bi al-qawi).(16)
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : 
حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ،
 قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ،
 إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : 
نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن 
ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
2. Hadis Jabir :
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
 mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” 
(HR. Thabarani).(17)
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu 
lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi
 yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)
حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي 
عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في 
شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik 
pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” 
(Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang 
di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat 
Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di
 riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq 
`alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih 
perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي 
رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat 
Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil 
potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara 
sempurna adalah sebagai berikut :
dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah 
A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah
 shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : 
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik 
pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. 
Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan 
panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu 
tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. 
A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda 
tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, 
sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang 
memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak 
berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut
 tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang 
berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan 
kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini 
sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, 
karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada 
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(20)
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ
 عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ 
-صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ 
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ 
وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا 
فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا 
فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ،
 قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ 
أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ 
وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa 
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi
 sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang 
lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan 
maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat 
Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama 
berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi 
dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi 
wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan 
dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)
عن عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- 
يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih 
delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada 
hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal 
ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil 
untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih 
dan tiga rakaat Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus 
menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
 hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi 
beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam 
al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa 
sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di 
selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 
atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga
 rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu 
alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat 
baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau 
konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di 
atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, 
seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, 
dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. 
Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada 
bulan Ramadhan saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`)
 para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` 
al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu 
berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 
alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
 kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah 
hadis disebutkan :
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. 
Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah,  Ibnu Hibban dan 
al-Hakim).(24)
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Dalam hadis yang lain disebutkan :
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR.
 Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, 
yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. 
Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal 
tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat 
qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang 
melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27)[i] Maka Dari 
sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, 
minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat 
shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika 
seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya 
sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat 
lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di 
dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam 
al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih 
yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat 
Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan 
matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan 
ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak 
selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua 
puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih 
melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai 
saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang 
agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan 
ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling 
hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok 
masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat 
dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah 
kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti 
bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan 
sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan 
mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar 
umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan 
saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan 
diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting 
yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat 
Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru 
dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat 
Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya
 shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban 
tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa 
thuma`ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga 
menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi 
satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, 
sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek 
(tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan
 membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui 
kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah 
kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah 
wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan 
shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat 
dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh 
adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan
 tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada 
Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan
 orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.
forsan salaf
Dalil Nagli: Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Menurut Madhab Empat
Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa 
Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, 
lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap 
istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang 
istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 
istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2
 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2. Madzhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin 
mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang 
dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) 
berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 
rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi 
dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati 
orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan  
umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid
 bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin 
Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia 
berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa 
berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai 
menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, 
“Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan 
Ramadhan 23 rakaat”.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin
 Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan 
dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
3. Madzhab as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam 
bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya 
melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 
20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian 
pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan 
pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat 
Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap
 malam Ramadhan.
4. Madzhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni  suatu masalah, ia berkata, 
“shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai 
mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal)
 mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin 
dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama 
mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum 
muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 
rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo 
sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya 
maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan 
as-Saib bin Yazid. Kesimpulan
Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat 
madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik 
karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. 
Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk 
Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.
Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa 
khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas 
perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang 
shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta 
terdengar diantara  mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi 
ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti 
sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.
KH Muhaimin Zen Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar